Uang Makan Warga Binaan Lapas Dan Rutan Di Jateng Kurang Manusiawi

Uang Makan Warga Binaan Lapas Dan Rutan Di Jateng Kurang Manusiawi

Uang Makan Warga Binaan Lapas Dan Rutan Di Jateng Kurang Manusiawi

SEMARANG – Rumah Pancasila dan Klinik Hukum akan mengusulkan adanya peninjauan ulang dan perubahan terkait aturan uang makan warga binaan di Lapas dan Rutan. Hal itu dilakukan setelah diketahui bahwa uang makan para warga binaan tersebut jumlah dinilai kurang manusiawi. Selain itu juga diharuskan adanya perubahan sistem pembinaan bagi warga binaan agar tidak terlalu menyerap banyak anggaran.

“Setelah melakukan kunjungan di beberapa Lapas dan Rutan di Jawa Tengah, kami menemukan ternyata jatah makan untuk setiap warga binaan dalam satu hari sebesar Rp 20 ribu. Jumlah itu untuk tiga kali makan, artinya sekali makan hampir Rp 7 ribuan,” kata pengacara sekaligus pendiri Rumah Pancasila dan Klinik Hukum, Yosep Parera, Minggu (28/7/2019).

Uang sebesar itu dinilai kurang manusiawi, terlebih ada perbedaan dengan uang makan yang diberikan kepada tahanan di KPK, BNPT, dan Kepolisian. Informasi yang diperoleh, uang makan setiap tahanan di KPK sebesar Rp 75 ribu, BNPT Rp 45 ribu, dan Kepolisian sekitar Rp 35 ribu. Sementara untuk menaikkan uang makan tersebut pasti akan berpengaruh dengan anggaran negara.

“Apa yang membuat uang makan itu dibedakan, harusnya lapas dan rutan juga harus sama dengan lainnya. Sama-sama warga binaan, kenapa harus dibedakan. Kalau mau irit yang harus disetarakan. Usulan kami untuk uang makan setiap warga binaan ini adalah Rp 45 ribu dalam sehari, berlaku untuk semuanya tidak hanya di Lapas dan Rutan,” jelas Yosep didampingi Staf Redaksi Rumah Pancasila dan Klinik Hukum Eka Setiawan.

Adapun dasar dalam usulan tersebut adalah pernyataan yang terdapat dalam pembukaan Undang-undang nomor 12 tahun 1995 tentang permasyarakatan. Dalam pembukaan tersebut disebutkan bahwa warga binaan pemasyarakatan adalah insan dan sumber daya manusia yang harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam pembinaan terpadu. Selain itu juga fungsi lembaga pemasyarakatan sebagai ruang agar warga binaan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana.

Yosep menyebutkan, harus ada perubahan terkait sistem pembinaan di Lapas. Hal itu merupakan bagian dari langkah untuk mengurangi jumlah penghuni Lapas dan Rutan serta mengurangi beban anggaran negara untuk uang makan warga binaan. Apalagi penghuni Lapas dan Rutan saat ini hampir 70 persennya adalah pengguna narkotika yang seharusnya dirawat di rumah sakit dengan biaya sendiri atau hukuman berbentuk kerja sosial.

“Sebagai langkah awal dalam menyusun usulan itu, Rumah Pancasila dan Klinik Hukum akan mengadakan diskusi nasional pada akhir Agustus 2019 mendatang. Diskusi tersebut akan menghadirkan instansi terkait seperti Kapolda, Kajati, Kepala Pengadilan Tinggi, Gubernur, hingga mahasiswa universitas di Jawa Tengah. Ini untuk menyusun usulan yang tepat terkait pembinaan,” katanya.

Ketua Rumah Pancasila dan Klinik Hukum, Eka Setiawan, menambahkan, telah ada audiensi dengan Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kemenkumham Jawa Tengah pada 17 Juli 2019 lalu. Ternyata ada kesamaan pemikiran antara Rumah Pancasila dengan Divisi Pemasyarakatan. Bahkan masalah Lapas dan Rutan tersebut tidak bisa diselesaikan secara internal Kemenkumham saja tetapi harus ada keterlibatan pihak lain dan stakeholder.

“Ke depan akan ada MoU dengan Divpas terkait pendampingan hukum gratis untuk kasus-kasus kecil. Kemudian ada rekomendasi terkait kerja sosial. Ini bagian dari langkah untuk perubahan sistem pembinaan karena Lapas dan Rutan sudah over kapasitas,” ujarnya.

Untuk diketahui, berdasarkan sistem database pemasyarakatan di Jawa Tengah per hari Minggu (28/7/2019) jumlah narapidana di Jateng adalah 10.632 orang sedangkan jumlah tahanan ada 3.038 orang. Jumlah tersebut sudah melebih kapasitas 44 Lapas dan Rutan di Jawa Tengah yang hanya 8.197 orang. 

Sumber : MetroJateng.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *